الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Senin, 01 April 2013
MALU YANG BAIK DAN MALU YANG BURUK.
Salah satu akhlak yang mulia yang merupakan bentuk ketaatan seorang muslim dan sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah.
Sifat malu sangat penting karena malu merupakan bagian dari iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
Rasa malu disebut bagian dari iman karena malu menjadi pengendali bagi seorang muslim untuk senantiasa berada dalam kebaikan dan berpaling dari segala keburukan atau maksiat. Sebagaimana halnya dengan iman yang senantiasa mendorong seorang mukmin untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu seluruhnya kebaikan.” (HR. Bukhari & Muslim dari Sahabat ‘Imran bin Husain)
Betapa malu adalah akhlak yang mulia. Karena itu, ketika ada salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu yang menasehati saudaranya ketika merasa malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
Malu merupakan Rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wasallam, teladan bagi setiap muslim. Beliau adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
وعَن أَبِي سعيدٍ الخدريّ رضى الله عنهُ قال: كان رسول الله صلّى الله ليه وسلّم أشدّ حياءٍ من العذراء في خدرها، فاِذ راءى شيئاً يكلرهه عرفناه في وجهه. متفقٌ عليه.
Dari Abu Said al-Khudri –radhiyallahuánhu-, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu álaihi wasallam itu lebih merasa malu daripada seorang gadis yang ada dalam ruang pingitannya. Maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai kami mengetahuinya pada wajahnya. (HR. Bukhari-Muslim)
Malu Baik dan Malu Buruk
Malu terbagi menjadi dua, yakni malu yang terpuji dan malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah malu untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Malu ini bisa digolongkan malu kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu wahai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, hadits hasan)
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat, serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
Rasa malu terpuji selanjutnya adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.
Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Adapun malu yang tercela adalah malu di hadapan manusia ketika menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Misalnya, malu untuk menyampaikan kebenaran dan menuntut ilmu, atau pun dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, malu memakai jilbab yang syar’i, dan malu mencari nafkah untuk keluarga karena dirinya bukan seorang bos.
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Sementara perbuatan ini masih disebut malu, karena menyerupai malu yang disyari’atkan.” Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidak-berdayaan. [Lihat Qawa’id wa Fawaid (hal. 182)]
artikel:
fb :Belajar Adab Adab Sunnah Rasulullah saw
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar